Indonesia telah kehilangan seorang bapak pluralismenya. Gus Dur semasa
hidup dikenal sebagai orang terdepan membela pluralisme.
Baginya hal ini sebuah keniscayaan ketika berhadapan dengan agama,
kebudayaan dan demokrasi. Tak ada demokrasi tanpa pluralisme. N o n s e
n s. Artinya memang tiap-tiap kelompok agama, budaya, atau apapun
latarnya harus bisa saling menghargai di tengah perbedaan. Gagasan ini
sejalan dengan jargon yang digagas para pendiri bangsa ini “Bhineka
Tunggal Ika”, berbeda-beda tapi satu, atau dalam kata Obama: “Unity in
diversitity!”.
“Tuhan tak perlu dibela” kata Gus Dur yakin. Ya memang Tuhan tak
perlu dibela, karena Tuhan adalah Dzat Yang Maha Perkasa dan menguasai
seluruh ciptaannya. Tuhan sudah tahu benar mengenai hal apapun yang akan
terjadi terhadap semua ciptaan-Nya. Kini entah dengan motif dan tujuan
apa banyak orang dari suku, golongan atau agama manapun masih sibuk
untuk mencari kesalahan dari golongan lain seakan-akan golongannya lah
yang terbenar. Banyak orang terlalu sibuk untuk memaksakan kehendaknya
untuk mengikuti apa maunya.
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan Tempo, Gus Dur menulis uraiannya tentang ketidakperluan
kita membela Tuhan. Dengan mantap ia menulis: “Allah itu Maha Besar. Ia
tidak perlu memerlukan pembuktian akan kebesaran-Nya. Ia Maha Besar
karena Ia ada. Apa yang diperbuat orang atas diri-Nya, sama sekali tidak
ada pengaruhnya atas wujud-Nya dan atas kekuasaan-Nya.”
Lanjutnya dalam artikel itu: “Bila engkau menganggap Allah ada karena
engkau merumuskannya, hakikatnya engkau menjadi kafir. Allah tidak perlu
disesali kalau ia “menyulitkan” kita. Juga tidak perlu dibela kalau
orang menyerang hakikat-Nya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi
manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang
diakibatkannya.” Dalam hal ini Gus Dur mengutip Al-Hujwiri, seorang sufi
dari Persia.
Jika menilik sedikit mengenai pengertian dari pluralisme adalah sebuah
kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang
menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Namun
masih banyak orang yang masih belum memahami benar mengenai pluralisme,
masih dianggapnya sebagai sesuatu yang sesat.
Komitmen Gus Dur memperjuangkan pluralisme melewati ujian yang tak
mudah. Tahun 1995-1997 terjadi kerusuhan etnoreligius di Jawa Timur dan Jawa
Barat, daerah basis Nahdlatul Ulama (NU). Ratusan gereja dan beberapa toko
milik orang Tionghoa dibakar dan dihancurkan. Tujuannya, mendiskreditkan Gus
Dur bahwa visi Islam toleran yang diusungnya gagal. Merespons kekerasan itu
(1997- 1998), Gus Dur menciptakan jejaring aktivis muda NU mencegah teror lebih
lanjut dengan mengorganisasikan patroli keamanan di gereja dan toko Tionghoa.
Ketika para pakar seperti John Rawls melihat kemajemukan sebatas fakta,
Gus Dur memahaminya sebagai keharusan. Bagi Gus Dur, keberagaman adalah rahmat
yang telah digariskan Allah. Menolak kemajemukan sama halnya mengingkari
pemberian Ilahi. Perbedaan merupakan kodrat manusia. Gus Dur cenderung
memandang perbedaan dalam perspektif, meminjam istilah Wolfgang Huber, ethic
of dignity daripada ethic of interest. Ethic of dignity
melihat perbedaan sebagai pemberian. Ethic of interest memandangnya
sebatas pilihan.
Dalam bidang keagamaan, pluralisme normatif mengharuskan Gus Dur menolak
pluralisme indifferent, paham relativisme yang menganggap semua agama
sama. Pola pikir yang mengarah pada sinkretisme agama ini tidak menghargai
keunikan beragama. Hans Kung menyebutnya pluralisme ”murahan” tanpa
diferensiasi dan tanpa identitas. Gus Dur menghargai pluralisme non-indifferent
yang mengakui dan menghormati keberagaman agama. Pola pikir ini menentang
pereduksian nilai-nilai luhur agama, apalagi meleburkan satu agama dengan agama
lainnya.
Karena perbedaan adalah rahmat, Gus Dur optimistis keberagaman akan
membawa kemaslahatan bangsa, bukan memecah bangsa. Dalam wawancara untuk
penyusunan disertasi penulis di Boston College, Gus Dur menandaskan perlunya
tiga nilai universal—kebebasan, keadilan, dan musyawarah untuk menghadirkan
pluralisme sebagai agen pemaslahatan bangsa.
Kebebasan menjadi prasyarat hadirnya pluralisme. Gus Dur mendambakan
terciptanya ”komunitas merdeka” dalam masyarakat etno-religius Indonesia yang
heterogen. Dalam komunitas merdeka, hak hidup entitas kemajemukan bukan hanya
dilindungi dari intervensi kekuatan eksternal, tetapi juga kesempatan
mengekspresikan identitasnya di ruang publik.
Dalam bidang keagamaan, Gus Dur meyakini Pancasila menjamin kebebasan
beragama bukan hanya sebatas memeluk agama, tetapi juga mencakup peran ”etika
kemasyarakatan” agama di ruang publik (Prisma Pemikiran Gus Dur, 213-4). Di
sinilah letak signifikansi sila pertama Pancasila. Sekadar kebebasan memeluk
agama, sila kedua, ketiga, dan seterusnya sudah cukup menjamin. Keunikan sila
pertama: mendorong agama-agama menjalankan peran etika kemasyarakatan di ruang
publik.
Perjuangan Gus Dur yang tak mengenal lelah membela hak minoritas
menunjukkan kepekaannya terhadap rasa keadilan. Keberpihakan kepada yang lemah
dan miskin adalah kewajiban moral menegakkan keadilan dalam dunia yang tak
adil. Demi mewujudkan keadilan, Gus Dur menentang dikotomi mayoritas-minoritas.
Wacana mayoritas-minoritas yang bersifat hierarkis dan oposisional bukan
hanya mengancam keadilan, tetapi juga mengarah pada disintegrasi bangsa. Itu
sebabnya bagi Gus Dur, sekalipun Islam agama mayoritas, Islam sebagai etika
kemasyarakatan tidak boleh menjadi sistem nilai dominan di Indonesia, apalagi
menjadi ideologi alternatif bagi Pancasila.
Namun,
dibalik semua yang telah terjadi baik hambatan-hambatan bagi Gus Dur dalam
mengedepankan serta mengembangkan proses pluralisme di negeri ini , proses
pluralisme masih tetap berjalan walaupun masih tersendat-sendat. Sudah
seharusnya kita lebih bisa memahami benar mengenai pentingnya Pluralisme untuk
bangsa ini.
Untukmu Gus, kami merindukanmu dalam membela Pluralisme untuk negeri ini. Dan untuk-Mu Tuhan ampunilah kami dan para pemimpin kami, dan tuntunlah kami dalam kebaikan serta kebenaran. Maafkan kami yang selama ini tak kuasa membela-Mu. Engkaulah yang Maha Besar dan Maha Pengampun, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segalanya. Berkahilah negeri ini, dan jauhkanlah kami dari kehancuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar