Senin, 12 November 2012

Pluralisme

     Indonesia telah kehilangan seorang bapak pluralismenya. Gus Dur semasa hidup dikenal sebagai orang terdepan membela pluralisme. Baginya hal ini sebuah keniscayaan ketika berhadapan dengan agama, kebudayaan dan demokrasi. Tak ada demokrasi tanpa pluralisme. N o n s e n s. Artinya memang tiap-tiap kelompok agama, budaya, atau apapun latarnya harus bisa saling menghargai di tengah perbedaan. Gagasan ini sejalan dengan jargon yang digagas para pendiri bangsa ini “Bhineka Tunggal Ika”, berbeda-beda tapi satu, atau dalam kata Obama: “Unity in diversitity!”.
     “Tuhan tak perlu dibela” kata Gus Dur yakin. Ya memang Tuhan tak perlu dibela, karena Tuhan adalah Dzat Yang Maha Perkasa dan menguasai seluruh ciptaannya. Tuhan sudah tahu benar mengenai hal apapun yang akan terjadi terhadap semua ciptaan-Nya. Kini entah dengan motif dan tujuan apa banyak orang dari suku, golongan atau agama manapun masih sibuk untuk mencari kesalahan dari golongan lain seakan-akan golongannya lah yang terbenar. Banyak orang terlalu sibuk untuk memaksakan kehendaknya untuk mengikuti apa maunya.

     Dalam sebuah artikel yang diterbitkan Tempo, Gus Dur menulis uraiannya tentang ketidakperluan kita membela Tuhan. Dengan mantap ia menulis: “Allah itu Maha Besar. Ia tidak perlu memerlukan pembuktian akan kebesaran-Nya. Ia Maha Besar karena Ia ada. Apa yang diperbuat orang atas diri-Nya, sama sekali tidak ada pengaruhnya atas wujud-Nya dan atas kekuasaan-Nya.”
     Lanjutnya dalam artikel itu: “Bila engkau menganggap Allah ada karena engkau merumuskannya, hakikatnya engkau menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau ia “menyulitkan” kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya.” Dalam hal ini Gus Dur mengutip Al-Hujwiri, seorang sufi dari Persia.  
     Jika menilik sedikit mengenai pengertian dari pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Namun masih banyak orang yang masih belum memahami benar mengenai pluralisme, masih dianggapnya sebagai sesuatu yang sesat.

     Komitmen Gus Dur memperjuangkan pluralisme melewati ujian yang tak mudah. Tahun 1995-1997 terjadi kerusuhan etnoreligius di Jawa Timur dan Jawa Barat, daerah basis Nahdlatul Ulama (NU). Ratusan gereja dan beberapa toko milik orang Tionghoa dibakar dan dihancurkan. Tujuannya, mendiskreditkan Gus Dur bahwa visi Islam toleran yang diusungnya gagal. Merespons kekerasan itu (1997- 1998), Gus Dur menciptakan jejaring aktivis muda NU mencegah teror lebih lanjut dengan mengorganisasikan patroli keamanan di gereja dan toko Tionghoa.

     Ketika para pakar seperti John Rawls melihat kemajemukan sebatas fakta, Gus Dur memahaminya sebagai keharusan. Bagi Gus Dur, keberagaman adalah rahmat yang telah digariskan Allah. Menolak kemajemukan sama halnya mengingkari pemberian Ilahi. Perbedaan merupakan kodrat manusia. Gus Dur cenderung memandang perbedaan dalam perspektif, meminjam istilah Wolfgang Huber, ethic of dignity daripada ethic of interest. Ethic of dignity melihat perbedaan sebagai pemberian. Ethic of interest memandangnya sebatas pilihan.

     Dalam bidang keagamaan, pluralisme normatif mengharuskan Gus Dur menolak pluralisme indifferent, paham relativisme yang menganggap semua agama sama. Pola pikir yang mengarah pada sinkretisme agama ini tidak menghargai keunikan beragama. Hans Kung menyebutnya pluralisme ”murahan” tanpa diferensiasi dan tanpa identitas. Gus Dur menghargai pluralisme non-indifferent yang mengakui dan menghormati keberagaman agama. Pola pikir ini menentang pereduksian nilai-nilai luhur agama, apalagi meleburkan satu agama dengan agama lainnya.



     Karena perbedaan adalah rahmat, Gus Dur optimistis keberagaman akan membawa kemaslahatan bangsa, bukan memecah bangsa. Dalam wawancara untuk penyusunan disertasi penulis di Boston College, Gus Dur menandaskan perlunya tiga nilai universal—kebebasan, keadilan, dan musyawarah untuk menghadirkan pluralisme sebagai agen pemaslahatan bangsa.
     Kebebasan menjadi prasyarat hadirnya pluralisme. Gus Dur mendambakan terciptanya ”komunitas merdeka” dalam masyarakat etno-religius Indonesia yang heterogen. Dalam komunitas merdeka, hak hidup entitas kemajemukan bukan hanya dilindungi dari intervensi kekuatan eksternal, tetapi juga kesempatan mengekspresikan identitasnya di ruang publik.
     Dalam bidang keagamaan, Gus Dur meyakini Pancasila menjamin kebebasan beragama bukan hanya sebatas memeluk agama, tetapi juga mencakup peran ”etika kemasyarakatan” agama di ruang publik (Prisma Pemikiran Gus Dur, 213-4). Di sinilah letak signifikansi sila pertama Pancasila. Sekadar kebebasan memeluk agama, sila kedua, ketiga, dan seterusnya sudah cukup menjamin. Keunikan sila pertama: mendorong agama-agama menjalankan peran etika kemasyarakatan di ruang publik.
     Perjuangan Gus Dur yang tak mengenal lelah membela hak minoritas menunjukkan kepekaannya terhadap rasa keadilan. Keberpihakan kepada yang lemah dan miskin adalah kewajiban moral menegakkan keadilan dalam dunia yang tak adil. Demi mewujudkan keadilan, Gus Dur menentang dikotomi mayoritas-minoritas.
     Wacana mayoritas-minoritas yang bersifat hierarkis dan oposisional bukan hanya mengancam keadilan, tetapi juga mengarah pada disintegrasi bangsa. Itu sebabnya bagi Gus Dur, sekalipun Islam agama mayoritas, Islam sebagai etika kemasyarakatan tidak boleh menjadi sistem nilai dominan di Indonesia, apalagi menjadi ideologi alternatif bagi Pancasila.
     Namun, dibalik semua yang telah terjadi baik hambatan-hambatan bagi Gus Dur dalam mengedepankan serta mengembangkan proses pluralisme di negeri ini , proses pluralisme masih tetap berjalan walaupun masih tersendat-sendat. Sudah seharusnya kita lebih bisa memahami benar mengenai pentingnya Pluralisme untuk bangsa ini. 


      Untukmu Gus, kami merindukanmu dalam membela Pluralisme untuk negeri ini. Dan untuk-Mu Tuhan ampunilah kami dan para pemimpin kami, dan tuntunlah kami dalam kebaikan serta kebenaran. Maafkan kami yang selama ini tak kuasa membela-Mu. Engkaulah yang Maha Besar dan Maha Pengampun, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segalanya. Berkahilah negeri ini, dan jauhkanlah kami dari kehancuran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar